Objek Yang Menimbulkan Persoalan |
Dilihat Dari Penjuru Lain |
Binaan yang sedikit janggal di atas
kubah hijau menimbulkan pelbagai tanda-tanya. Terdapat cerita yang heboh
diperkatakan baru-baru ini dengan penyebaran email, walaupun dikatakan
telah berlaku sejak 90 tahun ia hanya diberi perhatian sejak adanya
cerita kononya terdapat mayat terlekat di objek menara hijau tersebut.
Cerita ini di katakan disampaikan oleh seseorang bernama Syekh
az-Zubaidi, dimaklumkan bahawa setakat ini tidak ada pengesahan dari
sesiapapun tentang cerita tersebut.
Cerita yang disebarkan tersebut
adalah begini; Seseorang berusaha untuk menghancurkan Kubah Masjid
Nabawi di mana di dalamnya terdapat makam Nabi Muhammad saw. Namun,
ketika orang itu memanjat kubah dan memulai menghancurkannya, tiba-tiba
sebuah kilat menyambarnya dan ia mati serta-merta. Tidak ada seorangpun
yang mampu memindahkan mayat tersebut dari atas kubah.
Dikisahkan pula, ada orang saleh
dari Madinah yang dalam mimpinya mendengar sebuah suara yang mengatakan
bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengangkat mayat tersebut dari
kubah. Akhirnya, mayat tersebut tetap berada di atas kubah dan ditutupi
dengan kotak hijau agar tidak terlihat oleh orang-orang.
Terdapat beberapa pandangan lagi yang
tidak sahih, ada yang berkata ianya dibina sebagai alat penghalang
kilat. Ada juga mengatakan ia menandakan kedudukan makam
Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam.
Kubah hijau ini telah lama
menimbulkan kontrovesi tetapi ia bukanlah melibatkan cerita-cerita
seperti diatas tetapi perbahasannya oleh ulamak kerana ia melibatkan
aqidah dan hukum. Sebenarnya kubah hijau adalah dibina di atas kuburan
Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, pada asalnya dahulu tidak ada
hinggalah abad ketujuh. Yang (pertama kali) membangunnya adalah Sultan
Qalawun. Dahulu berwarna kayu, kemudian berwarna putih, biru dan hijau.
Dan warna hijau yang berterusan hingga sekarang.
Ustadz Ali Hafid hafizahullah
berkata: “Belum pernah ada kubah di atas kamar yang suci (kuburan Nabi).
Dahulu di atap masjid yang sejajar dengan kamar ada kayu memanjang
setengah ukuran orang untuk membezakan antara kamar dengan sisa atap
masjid lainnya.
Sulton Qalawun As-Shalihi yang
pertama kali membuat kubah di atas kuburan tersebut. Dikerjakan pada
tahun 678 H, berbentuk empat persegi panjang dari sisi bawah, sedangkan
atasnya berbentuk delapan persegi dilapisi dengan kayu. Didirikan di
atas tiang-tiang yang mengelilingi kamar, dikuatkan dengan papan dari
kayu, lalu dikuatkan lagi dengan tembaga, dan ditaruh di atas kayu
dengan kayu lain.
Kubah tersebut diperbaharui pada
zaman An-Nasir Hasan bin Muhammad Qalawun, kemudian papan yang ada
tembaganya retak. Lalu diperbaharui dan dikuatkan lagi pada masa
Al-Asyraf Sya’ban bin Husain bin Muhammad tahun, 765 H. Akan tetapi ada
kerosakan, dan diperbaiki pada zaman Sultan Qaytabai tahun 881 H. Rumah
dan kubah terbakar pada (waktu) kebakaran Masjid Nabawi tahun 886 H.
Pada zaman Sultan Qaytabai tahun 887 H, kubahnya diperbaharui. Dan
dibuat sokongan dari atas lantai Masjid Nabawi yang dibina dengan bata
hingga ketinggian asal. Setelah kubah selesai seperti yang telah
dijelaskan, ternyata bahagian atasnya kembali rosak. Ketika merasa tidak
mungkin lagi dibaiki, Sultan Fayyabi memerintahkan untuk menghancurkan
bahagian atasnya. Lalu diulangi lagi pembangunannya lebih kuat dengan
simen putih. Dan selesai dengan kokoh dan kuat pada tahun 892 H. Pada
tahun 1253 H Sultan Abdul Hamid Al-Utsmani mengeluarkan perintah untuk
mengecat kubah dengan warna hijau. Beliaulah yang pertama kali mengecat
kubah dengan (warna) hijau. Kemudian cat tersebut terus menerus
diperbaharui setiap kali diperlukan, sampai hari ini. Dinamakan kubah
hijau setelah dicat hijau. Dahulu dikenal dengan Kubah Putih, Fayha dan
Kubah Biru.” (Fushul Min Tarikh Al-Madinah Al-Munawwarah, Ali Hafiz,
hal. 127-128)
Tentang kubah hijau ini
sebenarnya terdapat beberapa fatwa oleh ulamak dari dahulu hingga kini,
dan yang terbaharu oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Para ulama peneliti
-dahulu dan sekarang- telah mengingkari bangunan kubah dan
pengecatannya. Semua itu karena mereka mengetahui bahwa pengingkaran
tersebut dapat mencegah peluang yang banyak yang mengkhawatirkan
lahirnya tindakan kesyirikan. Di antara ulama-ulama tersebut adalah;
1. Imam Ash-Shan’any
rahimahullah dalam kitab ‘Tathirul I’tiqadat’, berkata, 'Kalau anda
katakan, bahwa pada kuburan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam telah
dibangun kubah yang agung dengan biaya yang sangat besar, maka saya
katakan, ini merupakan kebodohan besar tentang hakikat sebuah keadaan.
Sesungguhnya kubah tersebut tidak dibangun oleh beliau (Nabi) sallallahu
alaihi wa sallam, para shahabat, para tabiin, para tabiit tabi’in,
tidak juga para ulama umat dan pemimpin agamanya. Akan tetapi kubah yang
dibangun di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tersebut
adalah bangunan yang didirikan salah seorang raja Mesir terakhir yaitu
Qalawun As-Salihi yang dikenal dengan Raja Al-Mansur pada tahun 678 H.
Disebutkan dalam kitab ‘Tahqiq
An-Nushrah Bitalkhis Ma’alim Dar Al-Hijrah’, 'Ini adalah urusan
pemerintah, tidak ada kaitannya dengan dalil.'
2. Para ulama yang
tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya: “Ada orang yang
berhujjah (berargumen) bahwa adanya bangunan kubah hijau di atas kuburan
yang mulia di Masjid Nabawi menunjukkan dibolehkannya membangun kubah
di atas kuburan-kuburan lain seperti orang-orang shaleh dan lainnya.
Apakah hujjah ini dibenarkan atau bagaimana cara menyangkalnya?.
Mereka menjawab: “Hujjah
(argumen) orang yang membolehkan membangun kubah di atas kuburan orang
saleh yang telah wafat, dengan (adanya) kubah di atas kuburan Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam tidaklah benar. Karena tindakan mereka yang
membangun kubah di atas kuburannya sallallahu’alaihi wa sallam merupakan
perbuatan haram dan pelakunya berdosa, karena menyalahi riwayat dari
Abi Al-Hayyaj Al-Asadi yang berkata, 'Ali bin Abi Tholib radhiallahu
anhu berkata kepadaku: ”Mari aku utus engkau sebagaimana Rasulullah
sallallahu alahi wa sallam mengutusku; Janganlah engkau membiarkan
patung kecuali engkau hilangkan, dan jangan biarkan kuburan tinggi
kecuali engkau ratakan."
Dari Jabir radhiallahu anhu, dia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيهِ ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيهِ (رواهما مسلم)
"Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melarang kuburan ditembok, diduduki dan dibangun di atasnya." (HR. Muslim)
Maka tidak sah seseorang
berhujjah dengan prilaku sebagian orang yang diharamkan dengan melakukan
prilaku yang sama yang diharamkan (juga). Karena tidak dibolehkan
menyalahi sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dengan bersandar
perkataan atau perbuatan seorang pun. Karena (beliau sallallahu’alaihi
wasallam) sebagai penyampai dari Allah Subhanahu wata’ala yang wajib
ditaati dan tidak boleh menyalahi perintahnya. Berdasarkan firman Allah
Azza wa jalla:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (سورة الحشر: 7)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Dan ayat-ayat lain yang memerintahkan taat kepada Allah dan kepada RasulNya.
Di samping itu, karena membangun
kuburan dan menjadikan kubah di atasnya merupakan salah satu sarana
kesyirikan terhadap penghuninya, maka pintu ke arah sana harus ditutup
sebagai antisipasi mencegah perbuatan syirik.’
Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah Qa’ud
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/83-84)
3. Para ulama’ Al-Lajnah ad-Daimah mengomentari juga:
”Berdirinya kubah di atas
kuburan Nabi sallallahu’alahi wasallam bukan sebagai hujjah bagi yang
mecari dalil untuk itu dalam membangun kubah di atas kuburan para wali
dan orang-orang shaleh. Karena adanya kubah di atas kuburannya, bukan
atas wasiat dari beliau sallallahu’alaihi wa sallam, juga bukan prilaku
para shahabat radhiallahu’anhum, bukan juga para tabiin, juga bukan
(perbuatan) seorang pun dari para imam yang mendapatkan petunjuk di
abad-abad permulaan yang disaksikan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam
sebagai generasi terbaik. Sssungguhnya hal itu (merupakan prilaku) ahli
bid’ah.
Telah menjadi ketetapan Nabi
sallallahu’alahi wa sallam dalam sabdanya: “Barangsiapa yang membuat
perkara baru dalam urusan (agama) kami yang tidak ada (ajarannya) maka
ia tertolak.”
Begitu pula telah ada ketetapan
dari Ali radhiallahu anhu bahwa beliau berkata kepada Abu Al-hayyaj:
”Mari aku utus engkau sebagaimana Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam
mengutusku; Janganlah engkau membiarkan patung kecuali engkau hilangkan,
dan jangan ada kuburan tinggi kecuali engkau telah ratakan.” (HR.
Muslim)
Tidak ada ketetapan dari Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam membangun kubah di atas kuburannya, juga
tidak ada ketetapan dari para imam yang terbaik. Justeru ketetapan yang
ada adalah membatalkan akan hal itu. maka selayaknya seorang muslim
tidak tergantung dengan apa yang dibuat-buat oleh ahli bid’ah dengan
membangun kubah di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam.”
Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh
Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah Gudayyan, Syekh Abdullah Qa’ud.
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/264, 265)
4. Syekh Syamsuddin
Al-Afghany rahimahullah berkata: ”Al-Allamah Al-Khojnadi (1379 H)
berkata dalam menjelaskan sejarah pembangunan kubah hijau yang dibangun
di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, 'Setelah diteliti, dia
adalah bid’ah yang dilakukan melalui tangan-tangan sebagian penguasa
yang tidak paham dan keliru yang jelas-jelas menyalahi hadits shahih
muhkam (yang jelas mengandung hukum) dan jelas. Karena ketidak tahuan
tentang sunnah serta sikap berlebih-lebihan dan mengikuti orang Kristen
yang sesat dan bingung.
Ketahuilah, bahwa hingga tahun
678 H, kubah di atas kamar nabi yang di dalamnya ada kuburan Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah ada. Akan tetapi, hal tersebut
baru dibangun oleh Raja Ad-Zahir Al-Mansur Qalawun As-Sholihi pada tahun
itu (678 H). Maka dibangunlah kubah itu.
Saya katakan: ”Sesungguhnya
(dia) melakukan hal itu karena melihat di Mesir dan Syam hiasan pada
gereja orang Kristen. Maka dia menirunya karena tidak tahu terhadap
perintah Nabi sallallahu’alahi wa sallam dan sunnah-sunnahnya.
Sebagaimana Al-Walid menirunya dalam menghias masjid. Maka
berhati-hatilah. (Wafa AL-Wafa).
Tidak diragukan lagi bahwa
prilaku Qalawun ini –dengan tegas menyalahi hadits shahih dari
Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Akan tetapi kebodohan adalah
bencana yang besar. Dan berlebih-lebihan dalam mencintai dan mengagumkan
adalah bencana yang mengerikan. Meniru orang-orang asing (non Islam)
adalah penyakit yang memusnahkan. Maka kami berlindung kepada Allah dari
kebodohan, berlebih-lebihan dan dari meniru orang-orang asing.” (Juhud
Ulama’ Al-Hanafiyah Fi Ibtol Aqoidil AL-Quburiyyah, 3/1660-1662)
Para ulama menerangkan hukum
agama terkait membangun kubah. Pengaruh dari perbuatan bid’ah ini sangat
jelas bagi para pelaku bid’ah, mereka menjadi sangat tergantung dengan
bangunan tersebut, baik bentuk maupun warnanya. Pujian dan penghormatan
mereka telah banyak melahirkan nazam (syair) maupun natsar (prosa).
(Untuk mengatasi hal ini) yang ada tinggal realisasi dari pemerintah,
dan ini bukan pekerjaan para ulama.
Boleh jadi, penghalang bangunan
tersebut tidak dihancurkan adalah agar tidak terjadi fitnah, dan
khawatir terjadi kekacauan di kalangan awam karena ketidaktahuan mereka.
Yang sangat memprihatinkan adalah bahwa kalangan awam di tengah
masyarakat dapat sampai pada tindakan pengagungan terhadap kubah
tersebut tak lain karena ajaran dan arahan para ulama sesat dan para
pemimpin bid’ah. Mereka inilah yang membuat kekacauan terhadap dua
negeri yang suci (Mekkah dan Madinah) serta terhadap aqidah dan
manhajnya. Karena telah banyak sekali prilaku yang sesuai dengan agama
di kami yang menyalahi bid’ah mereka. Yang jelas, hukum agama telah
nampak dengan jelas. Tidak dihancurkannya kubah tersebut bukan berarti
dibolehkan membangunnya, baik di situ maupun di kuburan manapun.
Syekh Shaleh Al-Ushaimi
hafizahullah berkata: “Sesungguhnya berdirinya kubah tersebut selama
delapan abad, bukan berarti dia dibolehkan. Juga bukan berarti jika
didiamkan bermakna setuju atau dalil membolehkan. Seharusnya penguasa
umat Islam menghilangkannya, dan mengembalikan kondisinya seperti waktu
kenabian, yaitu dengan menghilangkan kubah, hiasan dan dekorasi dalam
masjid. Terutama pada Masjid Nabawi, jika hal itu tidak berdampak fitnah
yang lebih besar. Akan tetapi, jika berdampak fitnah lebih besar, maka
penguasa (harus) berhati-hati disertai keinginan kuat (untuk
menghancurkannya) jika memungkinkan. (Bida Al-Qubur, Anwa’uha Wa
ahkamuha, hal.253)
Wallahua'lam
0 komen: